Tawuran Antarmahasiswa, Cermin Retak Perguruan Tinggi kita

Kekerasan kian marak menghinggapi dunia pendidikan tinggi Indonesia belakangan ini. Belum lenyap dalam ingatan publik pada skandal kekerasan di STPDN, lagi-lagi dunia pendidikan tinggi tercoreng oleh aksi tawuran antarmahasiswa di Jakarta, Makassar, hingga Kupang yang mewarnai pemberitaan media. Beberapa yang menyita perhatian publik misalnya sejumlah pertikaian antarmahasiswa yang terjadi di beberapa kampus di Makassar seperti Unhas, UMMI, Universitas 45, UIM dan Universitas Negeri Makassar sepanjang tahun 2008 ini. Kemudian tawuran antar Mahasiswa UKI dan YAI di Jakarta (14 dan 17/10/2008), serta yang paling akhir bentrok mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana dengan Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang mengakibatkan satu mahasiswa meninggal (17/11/08).

Kekerasan berupa tawuran mahasiswa selama tahun 2008 juga terjadi antara mahasiswa Teknik Mesin dan Elektro di Universitas HKBP Nomensen Medan, Sumatra Utara (24/4/2008), bentrokan antar kelompok mahasiswa di lingkungan Kampus Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara (30/6/2008), tawuran antar mahasiswa baru dan panitia ospek di Universitas Negeri Gorontalo (26/8/2008), pertikaian Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Fakultas Teknik Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara (15/9/2008), tawuran antara mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa Fakultas Keolahragaan Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat (20/9/2008).
Beragam aksi kekerasan yang dipertontonkan mahasiswa ini tentu saja merupakan ironi yang mesti disimak dengan serius. Bagaimana mungkin pendidikan tinggi yang seharusnya melahirkan insan-insan humanis malah mencetak para pelaku tindak kekerasan? Mahasiswa yang notabene adalah kelompok terdidik dan seharusnya berfikiran maju justru bergelut dalam aksi kekerasan antarmahasiswa sendiri. Dimanakah sikap kritis, kedewasaan pola pikir yang mencirikan sebagai individu yang berproses dalam pendidikan? Tanpa berpikir panjang dan secara emosional melempari dan merusak fasilitas umum bahkan kampusnya sendiri, mengeroyok, menggebuki bahkan sampai menghilangkan nyawa. Apakah ini pertanda kegagalan pendidikan kita? Mengapa Mahasiswa yang menyandang nama besar agen perubahan justru bertindak selayaknya preman pasar?
Tujuan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Namun derasnya tayangan kekerasan antarmahasiswa di media membuat kita bertanya-tanya akan efektifitas sistem pendidikan Indonesia dapat mencapai tujuan mulia sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas di atas.
Cermin Retak Perguruan Tinggi
Mencermati beberapa pemicu pertikaian antarmahasiswa sebenarnya merupakan hal-hal sepele seperti pemalakan, saling ejek usai pertandingan olahraga, ego fakultas saat ospek, bahkan perempuan. Alasan-alasan irasional jika dikaitkan dengan benturan yang kemudian melibatkan kampus dengan kampus atau antar kelompok di dalam kampus. Lain hal jika bentrokan itu dipicu oleh alasan-alasan seperti perbedaan sikap memandang kebijakan pemerintah atau isu kebijakan kampus.
Meskipun demikian jika dirunut akarnya, kekerasan di lembaga pendidikan sebenarnya disebabkan pertarungan sistem pendidikan dengan kultur sosial yang menghasilkan Mahasiswa yang kehilangan identitas. Sistem pendidikan kita meminggirkan orang miskin atas akses pendidikan, sementara kultur sosial mengajarkan gaya hidup yang mendasarkan diri pada kekayaan dan kekuasaan. Pergulatan ini membuat mahasiswa tidak berdaya karena sistem pendidikan dan kultur sosial menggiring mereka pada upaya dehumanisasi dan tersingkir dari lingkungannya, tradisi akademik yang menghasilkan intelektual kritis.
Gejala maraknya identitas kelompok di tengah kehidupan Mahasiswa dengan segala solidaritasnya dapat dipahami sebagai imbas proses dehumanisasi itu. Friksi identitas inilah yang kerap memancing bentrokan antar mahasiswa. Kampus mahal vs kampus menengah ke bawah, fakultas elit vs fakultas pinggiran, kelompok mahasiswa borju vs mahasiswa miskin, dst. Sementara tradisi akademik di kampus gagal membangun kepribadian dan intelektual peserta didiknya sendiri.
Benturan sistem pendidikan dan kultur sosial ini kian nyata dengan diberlakukannya liberalisasi sistem pendidikan di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2000. Salah satu bentuknya adalah dengan pemberlakuan otonomi di beberapa kampus negeri yang menyebabkan kian mahalnya biaya pendidikan. Hanya orang-orang yang menduduki stratifikasi sosial menengah ke atas yang dapat menikmati pendidikan tinggi, sementara mayoritas penduduk negara kita berada pada strata sosial menengah ke bawah.
Semakin memprihatinkan ketika perguruan tinggi negeri berlomba-lomba membuka program ekstension guna memperkuat sumber pendanaan. Dibukanya program-program mahal ini memukul pasar perguruan tinggi swasta. Akhirnya kampus seakan berhenti melayani mahasiswa melainkan sibuk mencari jalan keluar atas masalahnya sendiri. Kondisi ini tak hanya terjadi di perguruan tinggi negeri, namun terjadi pula pada perguruan tinggi swasta yang kembang-kempis kehilangan Mahasiswa. Liberalisasi sistem pendidikan nyata-nyata telah menimbulkan dampak-dampak destruktif dan berbahaya. Kekerasan antarmahasiswa merupakan bagian tak terpisahkan dari konsekuensi kian rapuhnya pendidikan tinggi di Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar intelektual dan moral bangsa.
Tanggung Jawab Bersama
Maraknya tawuran antar mahasiswa merupakan lampu merah bagi pemerintah dan tiap insan pendidikan untuk segera melakukan evaluasi kinerja sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan anggaran pendidikan yang seharusnya mencapai 20% dari APBN tidak menjadi jaminan hadirnya kualitas teknis yang disertai keanggunan akhlak jika tidak disertai pembenahan menyeluruh sistem pendidikan. Cita-cita pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah berupaya ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ seyogyanya diterjemahkan dalam kebijakan pendidikan nasional yang benar-benar mampu mencerdaskan bangsa Indonesia.
Perguruan tinggi sebagai pancang pembangunan sekaligus benteng moral bangsa sebagaimana tridarma perguruan tinggi tengah mengalami endemik kekerasan seperti yang banyak dipertontonkan civitas mahasiswanya. Menyalahkan mahasiswa semata tentu bukanlah sikap bijaksana tanpa mengurai akar persoalan yang membelitnya. Sejarah panggung kemahasiswaan Indonesia yang banyak mewarnai perjalanan sejarah bangsa harus dilanjutkan dengan harapan kita bisa memperbaiki tatanan bangsa kita menuju bangsa yang lebih berkeadilan dan demokratis.