Mata Itoe

Adalah Hegel, filsuf agung Jerman itu yang mengatakan bahwa “mata adalah cermin jiwa”. Melalui mata kita dapat menerobos jiwa seseorang, merasakan nada jiwa di hatinya; kejujuran, kegembiraan, kesedihan, kelembutan, kesombongan, kejalangan, keculasan – sepenuhnya atau sedikit saja - terlihat dari cara mata mengekspresikan pemiliknya.

Setiap perjumpaan - dengan orang asing atau orang yang kita kenal - bermula dari tatapan. Semula kita melihat wajahnya, kemudian kita menatap matanya, lalu kesan demi kesan mulai tumbuh di hati kita. Setiap mata yang kita tatap meninggalkan efek yang mungkin baru dirasakan setelah kita berpisah darinya. Mata itu seperti berbicara, membuka dialog rasa. Ia seperti berbisik dari kedalaman dirinya dan bercerita segalanya.


Namun mata juga fatamorgana yang sulit diikuti kedalaman maknanya. Mata adalah cermin yang retak, yang tak kan mampu menjelaskan keutuhan pribadi pemiliknya, tapi setidaknya dapat menjelaskan apa yang sedang dirasa. Dalam tatapan, yang jauh terasa dekat, yang dekat bisa pula serasa jauh. Dalam tatapan, kita melihat dunia… Read More..

About Narsism

Anda ingat Narsisus? Tokoh mitologi Yunani yang jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Paulo Coelho, dalam kisah pembuka novelnya, The Alchemist, menceritakan betapa banyak peri hutan merasa iri kepada telaga, tempat tiap pagi Narsisus mengagumi dirinya.

"Asik ya kamu, tiap pagi memandang wajah tampan dan mata jernih itu," kata peri hutan.

"Apa dia tampan dan matanya jernih?" jawab telaga.

“Lho, kamu melihatnya tiap pagi bukan?"

"Aku tak sempat melihatnya sebab tiap kali ia jongkok di tepiku, aku memandang kejernihan wajahku sendiri yang terpantul di matanya."

Menafsir cerita ini, banyak orang hanya berfokus pada Narsisus saja. Padahal The Alchemist-seperti para psikolog yang berurusan dengan "abnormalitas"—menyuguhkan angel lainnya, si telaga (mungkin maksudnya kita) yang sering lebih narsisus daripada Narsisus sendiri. Kita sering berperilaku tak sehat, narsisme, namun tak sadar dengan kondisi itu.

Mengapa banyak pemuja dan pengagum fanatik? Semisal kepada selebriti atau tokoh public? Mungkin karena pada dasarnya banyak orang tak pernah mendapatkan—dan karena itu membutuhkan—cinta dan kekaguman. Lalu mereka mengagumi orang lain demi diri mereka sendiri.

Pengagum Aa Gym, berbalik menjadi dengki, marah dan mengutuk karena dianggap cermin diri mereka, tapi cermin itu tiba-tiba retak. Mereka yang cemas, merasa kurang, merasa rendah dan berharap, tiba-tiba dikecewakan. Dulu Aa Gym pasti tak sadar bahwa kekaguman sekaligus potensi kebencian. Kiai ini mungkin mengira mereka kagum pada dirinya, padahal orang-orang itu kagum hanya pada diri mereka sendiri seperti Narsisus dan Telaga dungu itu.

Cinta mereka tak sama dengan cinta pada Negara, yang menurut John Lenon membuat orang rela rela berkorban. Cinta dan kekaguman pada sosok fenomenal selalu disertai "bom" kemarahan, jengkel, kecewa dan benci. Dari memuja setinggi langit lalu menguburnya dalam-dalam hingga kebencian terpuaskan.

Inilah sebenarnya kedunguan yang tak disadari. Mengapa kita tak mampu mengelola cinta dan kekaguman tetap menjadi cinta dan kekaguman? Karena terbius popularitas, terbius aroma pujaan, dan lupa membalas dengan kerja keras untuk mewujudkan. Jangan lupa pencinta dan pemuja, hanya mencintai dan memuja harapan mereka sendiri. Begitu harapan dikecewakan, mereka siap mengasah pedang pembunuh naga.
Pengagum atau pemuja juga bentuk ke-dunguan. Watak fanatisme yang harus diubah. Kita perlu mencintai atau memuja secara dewasa. Dan kalau orang cukup dewasa, ia tak perlu pujaan. Akal, rasionalitas dan hati harus seimbang supaya kita bisa meminta dan bisa memberi. Kita tak boleh terus-menerus naïf, cengeng dan mentah dalam menyikapi seseorang yang dipuja. Karena bisa benar-benar menjadi Telaga dungu. Read More..